-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Ketahanan Pangan: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

    Redaksi
    27 November 2025, 08:21 WIB Last Updated 2025-11-27T01:21:00Z
    Banner IDwebhost

    Ketahanan Pangan: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan (Foto: Bachtiar)

    INDOSATU.ID - Di tengah tantangan industrialisasi pangan dan kebijakan agraria yang semakin terpusat, sekelompok budayawan, akademisi, dan pegiat masyarakat berkumpul berdiskusi mengenai "Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan dari Perspektif Kebudayaan.", Sabtu (22/11/2025) lalu di Kedai Kali Metro, Malang.

    Forum ini menekankan bahwa pangan bukan hanya sekadar kebutuhan fisik, tetapi juga berkaitan dengan peradaban, martabat, dan kedaulatan manusia.

    Diskusi ini menghadirkan berbagai narasumber, termasuk pegiat budaya, akademisi, dan sejarawan, yang menyoroti pentingnya pergeseran fokus dari ketahanan pangan yang bersifat sentralistik menuju kedaulatan pangan yang berakar pada otonomi lokal dan keselarasan dengan alam.

    Budayawan Trie Utami membuka diskusi dengan membedakan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.

    Ia menegaskan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai melalui berbagai cara, termasuk impor, tetapi kedaulatan pangan lebih dalam dan berkaitan dengan kesadaran akan apa yang kita konsumsi.

    Trie menjelaskan bahwa manusia hidup dalam tiga bentang: alam, budaya, dan bisnis. Ia mengkritik fokus yang berlebihan pada bentang bisnis yang sering kali mengabaikan keberlanjutan.

    "Lumbung padi kita sekarang telah berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan modern," ujarnya, menyoroti dampak negatif dari praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.

    Dr. Redy Eko Prastyo, seniman dan dosen Universitas Brawijaya, menambahkan bahwa kearifan lokal Nusantara memuliakan pangan, menjadikannya lebih dari sekadar komoditas.

    Ia mengaitkan pemuliaan pangan dengan ritual-ritual adat yang menunjukkan bahwa pangan memiliki nilai sakral.

    Diskusi juga membahas pandangan filsafat Barat, di mana konsep "Autarkeia" Aristoteles dianggap terlalu individualistik.

    Pegiat budaya Bachtiar Djanan menekankan pentingnya keselarasan antara manusia dan alam dalam kosmologi Nusantara, yang melahirkan praktik berbagi antara petani dan makhluk hidup lainnya.

    Sejarawan M. Dwi Cahyono menegaskan bahwa kedaulatan pangan telah menjadi pilar peradaban kuno Nusantara, dengan bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan pengelolaan pangan sebagai urusan negara dan komunitas.

    Ia menyoroti Beras Krayan di Kalimantan Utara sebagai contoh praktik pertanian organik yang berkelanjutan.

    Menanggapi kebijakan sentralistik yang merusak keragaman pangan, Trie Utami mengingatkan bahwa meskipun kebijakan swasembada di era Orde Baru berhasil, hal itu menciptakan penyeragaman budaya dan ketergantungan.

    Di akhir sesi, Prof. Mangku Purnomo, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, menekankan perlunya transisi dari wacana ke tindakan nyata.

    Ia mengajak individu untuk berdaulat pangan dengan memulai dari rumah, seperti menanam sayuran dan memelihara hewan.

    Para narasumber sepakat bahwa kedaulatan pangan memerlukan pemberdayaan ganda, dimulai dari ideologi, sosialisasi, hingga tindakan konkret di tingkat individu dan komunitas.

    Kedaulatan pangan, pada akhirnya, merupakan bentuk diplomasi kebudayaan yang menegaskan jati diri bangsa melalui kekayaan pangan dan tradisi yang dimuliakan. (Admin)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini